welcome to my blog

Minggu, 05 Juni 2011

Pendidikan Anak Usia Dini



Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) di daerah-daerah masih banyak berfokus pada usia 5-6 tahun atau anak-anak yang bersekolah di Taman Kanak-kanak. Akibatnya, empat tahun pertama di masa emas anak-anak tersebut menjadi kurang diperhatikan, padahal di usia tersebut mereka juga perlu dimaksimalkan potensi dan tumbuh kembangnya. 

"Pendidikan anak usia dini atau PAUD itu penting mulai anak usia 0-6 tahun. Tetapi pemerintah daerah belum banyak yang mendukung karena tidak wajib seperti pendidikan dasar sembilan tahun," kata Direktur Jenderal Pendidikan Nonformal dan Informal Depdiknas, Hamid Muhammad, di Jakarta, Jumat (15/5).
Program PAUD merupakan salah satu program prioritas Depdiknas. Angka Partisipasi Kasar (APK) PAUD tahun 2008 baru mencapai 50,03 persen dari 29,8 juta anak. Target APK PAUD formal maupun PAUD nonformal akhir tahun ini adalah 53,9 persen, baik yang dikelola Depdiknas maupun Departemen Agama.
Hamid mengatakan, upaya untuk meningkatkan akses pendidikan dilakukan terutama untuk perintisan PAUD di daerah terpencil, yaitu di 50 kabupaten dari 21 provinsi di Indonesia. Intinya, kata dia, pertama adalah untuk pemberdayaan masyarakat melalui pelatihan-pelatihan pada pengelola PAUD di desa. Kedua, untuk para pembina di provinsi dan kabupaten. Ketiga, yang paling besar jumlahnya, adalah untuk pendirian lembaga PAUD. "Total 783 ribu anak yang bisa masuk program ini," katanya.

Hamid mengungkapkan, kendala yang dihadapi untuk mendongkrak APK PAUD adalah tingkat kesadaran masyarakat tentang pentingnya PAUD. Anggota masyarakat, kata dia, terutama di daerah pedesaan kurang peduli terhadap PAUD. "Bagi mereka yang penting masuk sekolah dasar. Padahal betapa pentingnya PAUD sebagai landasan wajib belajar sembilan tahun," katanya.

Pemerintah, kata Hamid, juga memberikan perhatian terhadap tutor PAUD. Dia menjelaskan, tutor PAUD tidak seperti guru pada taman kanak-kanak yang diwajibkan berkualifikasi S1 ditambah pendidikan profesi. Tutor PAUD, kata dia, dilihat dari kompetensinya.
"Belum ada standardisasi kualifikasi, tetapi secara bertahap akan kita lakukan beberapa standardisasi. Sementara ini yang kita lakukan dengan pelatihan," katanya.

Direktur PAUD Depdiknas Sudjarwo Singowidjojo menyampaikan, upaya lain yang ditempuh untuk meningkatkan APK PAUD adalah diversifikasi bentuk-bentuk PAUD, yakni kelompok bermain, taman penitipan anak, dan satuan PAUD sejenis. Dia mencontohkan, melalui PAUD sejenis yaitu dengan membina di antaranya posyandu dan taman pendidikan Alquran.

"Kemudian dengan melakukan kemitraan dengan organisasi perempuan seperti Aisyiyah, Muslimat NU, dan PKK. Diharapkan, APK PAUD dapat mencapai 72,6 persen pada 2014," katanya.

Hamid mengatakan, progam PAUD didukung melalui APBN dan grant dari pemerintah Belanda. Beberapa tahun belakangan ini, kata dia, program ini juga dibantu oleh UNICEF khususnya di kawasan Indonesia bagian timur. "Oleh karena itu, pada tahun ini, bersamaan dengan program reguler, APBN, dan pihak donor, kita akan melakukan kegiatan publikasi dan sosialisasi berupa sejumlah lomba," katanya.

PAEDAGOGI

Definisi kesulitan belajar yang dimuat dalam Individuals with Disabilities Education Act (IDEA) tahun 1997. Didalamnya disebutkan bahwa “spesific learning disabilities” yang mana bearti suatu gangguan dalam satu atau lebih proses – proses psikologis dasar yang terlibat dalam pemahaman atau penggunaan bahasa lisan atau tertulis, yang dimanifestasikan dalam kemampuan yang tidak sempurna dalam mendengar, berbicara, membaca, menulis, mengeja atau melakukan perhitungan matematis (Lerner, 2003). Melihat pernyatan tersebut bahwa kita tidak dapat menyamakan anak berkesulitan belajar dengan anak-anak yang memiliki permasalahan belajar terutama yang disebabkan oleh ketidakmampuan penglihatan, pendengaran, atau ketidakmampuan motorik, atau retradasi mental, atau gangguan emosional, atau oleh keadaan lingkungan, kultural atau ekonomi yang merugikan
Kesulitan belajar memiliki banyak tipe yang masing-masing memerlukan diagnosis dan remediasi yang berbeda-beda. Secara garis besar. Abdurrahman, M (1999) mengklasifikasikan kesulitan belajar kedalam dua kelompok, yaitu kesulitan belajar yang berhubungan dengan perkembangan dan kesulitan belajar akademik. Kesulitan belajar yang berhubungan dengan perkembangan mencakup gangguan motorik dan persepsi, kesulitan belajar bahasa dan komunikasi dan kesulitan belajar dalam penyesuaian perilaku sosial. Hal ini, merupakan kondisi pra syarat yang terjadi pada masa pra sekolah. Sedangkan kesulitan belajar akademik terjadi pada usia sekolah. Kesulitan belajar akademik menunjuk pada adanya kegagalan-kegagalan pencapaian prestasi akademik yang sesuai dengan kapasitas yang diharapkan. Kegagalan-kegagalan tersebut mencakup penguasaan ketrampilan dalam hal membaca, menulis dan matematika/Berhitung
Sebagaimana prevalensi gangguan kesulitan bekajar yang cenderung meningkat, banyak peneliti melakukan kajian terkait dengan assessment dan intervensinya. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Fletcher, dkk (2002) menyebutkan bahwa assesment yang dilakukan terhadap siswa yang mengalami gangguan kesulitan hendaknya menggunakan pendekatan yang melibatkan tiga komponen yaitu eksklusi, disceprancy, dan heteroginitas. Pendekatan ini menekankan upaya assesment yang mengarah pada pengembangan rencana intervensi. Dalam penelitian ini juga disebutkan assesment yang dilakukan tidak perlu melibatakan tes IQ, karena hasil tes IQ tidak memberikan kontribusi terhadap perencanaan intervensi yang akan dilakukan.
Domain assesment yang dimaksudkan oleh Fletcher dkk (2002) sebagai implikasi tiga komponen
tersebut adalah :
(1) Oral Expression
(2) Listening Comprension
(3) Griten Expresion
(4) Basic Reading Skill
(5) Mathematics Calculation
(6) Reading Comprension
(7) Mathematics Reasoning

Secara khusus, Sternberg dan Grigorenko (2002) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa terdapat beberapa alasan mengapa skor IQ tidak memberikan makna yang cukup memadai untuk mengidentifikasi gangguan kesulitan belajar siswa. Temuan ini sejalan dengan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Truscott dan Frank (2001), yaitu bahwa pengklasifikasian gangguan kesulitan belajar yang menyandarkan pada hasil tes IQ akan dipengaruhi oleh Flynn effect. Oleh karenanya assesment gangguan kesulitan belajar yang didasarkan pada skor IQ kurang signifikan. Dengan demikian hasil tes IQ tidak dapat digunakan sebagai alat yang mendeteksi gangguan kesulitan belajar. Oleh karenanya dalam penelitian ini tidak menggunakan instrumen tes IQ sebagai alat untuk mengidentifikasi gangguan kesulitan belajar. Mathew (2001 dalam Lerner, 2003) mengembangkan suatu alat diagnosa gangguan kesulitan belajar sebagai hasil dari penelitiannya, yaitu Learning Disability Evaluation Scale (LDES). Alat ini menggunakan teknik observasi untuk mendapatkan diagnosa tentang kesulitan belajar, terdiri dari 88 item yang skalanya didasarkan pada definisi kesulitan belajar dari IDEA. Kauffman dan Forness (1987 dalam Lerner, 2003)) dalam penelitian telah mengujicobakan serangkaian tugas-tugas yang dapat mengungkap adanya gengguan kesulitan belajar. Berdasarkan tugas-tugas tersebut, ia menyususn alat yang disebut dengan Tes of Writtten Expression (TOWE). Alat ini terutama dimaksudkan untuk menggungkap gangguan kesulitan belajar menulis.

1. Klasifikasi anak berkesulitan belajar

Pada dasarnya kesulitan belajar dibagi menjadi dua bagian yaitu kesulitan belajar akademik menunjukkan pada kegagalan-kegagalan prestasi akademik yang sesuai dengan kapasitas yang diharapkan dan seorang anak. Kegagalan-kegagalan tersebut meliputi keterampilan dalam membaca, menulis, mengeja dan berhitung dan kesulitan belajar yang berhubungan dengan perkembangan (development learning disabilities) kesulitan belajar yang berhubungan dengan perkembangan meliputi gangguan perhatian, gangguan perseptual dan ekspresif, keterbatasan dalam menggunakan operasi mental seperti ingatan, melihat, hubungan, menggeneralisasikan, dan mengasosiasikan, dan gangguan dalam berbahasa meliputi keterbatasan memecahkan sandi (decode) dan menyandikan (encode) berbagai pengertian atau konsep, baik dalam bentuk verbal maupun dalam bentuk gerakan.

a. Kesulitan Belajar Perkembangan (Praakademik)
Kesulitan yang bersifat perkembangan meliputi:
1) Gangguan Perkembangan Motorik (Gerak)
Gangguan pada kemampuan melakukan gerak dan koordinasi alat gerak. Bentuk-bentuk gangguan perkembangan motorik meliputi; motorik kasar (gerakan melimpah, gerakan canggung), motorik halus (gerakan jari jemari), penghayatan tubuh, pemahaman keruangan dan lateralisasi (arah).
2). Gangguan Perkembangan Sensorik (Penginderaan)
Gangguan pada kemampuan menangkap rangsang dari luar melalui alat-alat indera. Gangguan tersebut mencakup pada proses:
• Penglihatan,
• Pendengaran,
• Perabaan,
• Penciuman, dan
• Pengecap.
3). Gangguan Perkembangan Perseptual (Pemahaman atau apa yang
diinderai)
Gangguan pada kemampuan mengolah dan memahami rangsang dari proses penginderaan sehingga menjadi informasi yang bermakna. Bentuk-bentuk gangguan tersebut meliputi:
• Gangguan dalam Persepsi Auditoris, berupa kesulitan memahami objek yang
didengarkan.
• Gangguan dalam Persepsi Visual, berupa kesulitan memahami objek yang dilihat.
• Gangguan dalam Persepsi Visual Motorik, berupa kesulitan memahami objek
yang bergerak atau digerakkan.
• Gangguan Memori, berupa ingatan jangka panjang dan pendek.
• Gangguan dalam Pemahaman Konsep.
• Gangguan Spasial, berupa pemahaman konsep ruang.

b. Kesulitan Belajar Akademik
Kesulitan Belajar akademik terdiri atas:
- Kesulitan membaca (dyslexsia)
Istilah "dyslexia" sering digunakan sebagai sinonim untuk kesulitan membaca namun banyak peneliti menegaskan bahwa terdapat berbagai jenis kesulitan membaca, yang mana salah satunya adalah dyslexia. Disleksia atau kesulitan membaca adalah kesulitan untuk memaknai simbol, huruf, dan angka melalui persepsi visual dan auditoris. Hal tesebut bisa menyebabkan permasalahan pada kemampuan membaca lanjutan. Kesulitan Menulis Disgrafia adalah kesulitan yang melibatkan proses menggambar simbol-simbol bunyi menjadi simbol huruf atau angka. Kesulitan menulis tersebut terjadi pada beberapa tahap aktivitas menulis.

- Kesulitan dalam berhitung
Kesulitan dalam bidang matematika disebut juga dyscalculia, Kesulitan berhitung adalah kesulitan dalam menggunakan bahasa symbol untuk berpikir, mencatat, dan mengkomunikasikan ide-ide yang berkaitan dengan kuantitas atau jumlah. Kemampuan berhitung sendiri terdiri dari kemampuan yang bertingkat dari kemampuan dasar sampai kemampuan lanjut. Oleh karena itu, kesulitan berhitung dapat dikelompokkan menurut tingkatan, yaitu kemampuan dasar berhitung, kemampuan dalam menentukan nilai tempat, kemampuan melakukan operasi penjumlahan dengan atau tanpa teknik menyimpan dan pengurangan dengan atau tanpa teknik meminjam, kemampuan memahami konsep perkalian dan pembagian.matematika

- Kesulitan belajar nonverbal
Kesulitan belajar nonverbal sering terlihat dalam kekakuan motorik, visual-spasial keterampilan yang rendah, masalah hubungan sosial, kesulitan dengan matematika, dan keterampilan organisasi miskin. Individu ini sering ada kekuatan spesifik dalam domain lisan, termasuk awal sambutannya, besar kosa kata, awal keterampilan membaca dan ejaan.

- Disgrafia atau gangguan menulis
Disgrapfia adalah Kesulitan dalam yang melibatkan proses menggambarkan simbol-sombol bunyi menjadi simbol huruf dan angka.

ANDRAGOGI

Andragogi (Andragogy), terdiri dari strategi belajar yang terfokus pada orang dewasa. Hal ini sering diartikan sebagai proses melibatkan siswa atau pembelajar dewasa dengan struktur belajar pengalaman. Awalnya digunakan oleh Alexander Kapp (pendidik Jerman) pada tahun 1833, Andragogi dikembangkan menjadi sebuah teori pendidikan orang dewasa oleh pendidik Amerika Malcolm Knowles.
Knowles menegaskan bahwa Andragogi (Yunani: “Orang-terkemuka”) harus dibedakan dari pedagogi lebih sering digunakan (bahasa Yunani: “anak-terkemuka”).
teori Knowles ‘dapat dinyatakan dengan enam asumsi yang berhubungan dengan motivasi belajar orang dewasa:
  1. Orang dewasa perlu mengetahui alasan untuk belajar sesuatu (Harus Tahu)
  2. Pengalaman (termasuk kesalahan) menyediakan dasar untuk kegiatan belajar (Foundation).
  3. Orang dewasa harus bertanggung jawab atas keputusan mereka untuk pendidikan, keterlibatan dalam perencanaan dan evaluasi instruksi mereka (Self-konsep).
  4. Orang dewasa yang paling tertarik untuk belajar mata pelajaran memiliki relevansi langsung dengan pekerjaan mereka dan / atau kehidupan pribadi (Kesiapan).
  5. belajar dewasa adalah masalah-berpusat daripada konten berorientasi (Orientasi).
  6. Orang Dewasa merespon lebih baik untuk motivator internal versus eksternal (Motivasi).
Istilahandragogi ini telah digunakan oleh beberapa untuk memungkinkan diskusi tentang kontras antara mandiri dan ‘mengajar’ pendidikan.
Keanekaragaman dan generalisasi
peserta didik dewasa adalah sangat beragam [contoh diperlukan] kelompok. Mahasiswa pascasarjana di bidang kedokteran atau fisika dapat merespon secara berbeda [contoh diperlukan] dari mahasiswa MBA eksekutif atau orang dewasa kembali untuk menyelesaikan ijazah sekolah tinggi. teori Knowles mungkin tidak berlaku bagi banyak kelompok siswa dewasa.
Kritik
Knowles sendiri mengubah posisinya di Andragogi apakah benar-benar diterapkan hanya untuk orang dewasa dan mulai percaya bahwa “pedagogi-Andragogi merupakan sebuah kontinum mulai dari guru-diarahkan untuk belajar siswa-diarahkan dan yang kedua pendekatan yang sesuai dengan anak-anak dan orang dewasa, tergantung pada situasi . “